Fenomena Raffi Ahmad Mendapatkan Gelar Doktor Honoris Causa: Antara Penghargaan dan Devaluasi Akademik

   



 Pada Jumat, 27 September 2024, jagat maya dihebohkan dengan kabar bahwa selebritas ternama, Raffi Ahmad, dianugerahi dua gelar Doktor Honoris Causa oleh sebuah institusi di Thailand, yaitu Universal Institute of Professional Management (UIPM). Gelar tersebut diberikan dalam bidang Tourism and Event Management serta Event Management and Global Digital Development. Namun, alih-alih menuai pujian dan kebanggaan, pemberian gelar ini justru memicu kontroversi besar dan memancing reaksi skeptis dari publik. Ada yang merasa anugerah ini mencerminkan penghargaan yang tak sepantasnya, sementara yang lain melihatnya sebagai tanda kemerosotan standar akademik.


Devaluasi Makna Penghargaan Akademik

    Tradisi pemberian Doktor Honoris Causa seharusnya diberikan sebagai penghormatan bagi individu yang memberikan kontribusi luar biasa di bidang akademik, sosial, budaya, atau kemanusiaan. Biasanya, penerima gelar ini adalah tokoh-tokoh yang berdampak besar dalam perkembangan disiplin ilmu atau masyarakat. Namun, dalam kasus Raffi Ahmad, banyak yang mempertanyakan apakah kontribusinya di dunia hiburan dan digital benar-benar layak mendapatkan penghargaan akademik setinggi itu.

    Sebagai entertainer yang sangat populer di Indonesia, Raffi Ahmad memiliki pengaruh besar dalam industri televisi dan media sosial. Namun, kritik muncul dari berbagai pihak yang merasa bahwa pemberian gelar ini lebih merepresentasikan popularitas selebritas ketimbang kontribusi intelektual. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa penghargaan akademik bisa kehilangan esensi, terutama jika diberikan dengan dasar popularitas semata, bukan karena kontribusi ilmiah atau sosial yang signifikan.





Kampus yang Misterius: Lembaga Pendidikan atau Institusi Semu?

    Kontroversi mengenai pemberian gelar ini semakin memanas ketika beberapa warganet melakukan pencarian informasi lebih lanjut mengenai UIPM, lembaga yang memberikan gelar tersebut. Dalam pencarian mereka, bukannya menemukan universitas prestisius dengan reputasi akademik yang jelas, warganet justru menemukan bahwa alamat institusi ini merujuk ke sebuah hotel. Fakta ini menambah kecurigaan terhadap kredibilitas UIPM, terutama karena institusi ini juga tidak terdaftar di lembaga pemeringkat universitas internasional ternama, seperti Webometrics, Times Higher Education (THE), atau Financial Times.

    Indikasi lain yang memperkuat keraguan ini adalah temuan bahwa situs web resmi UIPM menggunakan domain dengan ekstensi ".ac.id", yang umumnya digunakan oleh lembaga pendidikan di Indonesia, meskipun institusi tersebut berbasis di Thailand. Lebih jauh lagi, warganet juga mengungkapkan bahwa domain tersebut baru terdaftar pada April 2023, yang menimbulkan pertanyaan lebih lanjut tentang legitimasi dan profesionalisme lembaga ini. Selain itu, UIPM tidak menampilkan rekam jejak atau afiliasi akademis yang jelas, semakin memperkuat kesan bahwa lembaga ini mungkin tidak memiliki kredibilitas di dunia akademik global.


Kritik Sosial: Gelar Akademik Sebagai Simbol Status?

    Pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Raffi Ahmad memunculkan kritik yang lebih dalam terkait fenomena komodifikasi gelar akademik. Di era modern, gelar akademik sering kali dipandang sebagai simbol status sosial, bukan lagi pencapaian intelektual yang murni. Institusi-institusi tertentu tampaknya bersedia memberikan gelar kepada individu yang memiliki pengaruh atau popularitas, tanpa mempertimbangkan apakah penerima benar-benar layak berdasarkan kontribusi substantif.

    Dalam kasus Raffi Ahmad, pemberian gelar ini bisa dilihat sebagai bagian dari tren yang semakin mengikis nilai penghargaan akademik. Jika gelar doktor kehormatan hanya dijadikan alat promosi bagi selebritas atau lembaga pendidikan itu sendiri, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada nilai akademis yang seharusnya melekat pada gelar tersebut.


Refleksi: Haruskah Popularitas Mendikte Dunia Akademik?

    Kasus Raffi Ahmad ini menyajikan pelajaran penting bagi kita semua. Di satu sisi, tidak bisa disangkal bahwa pengaruh media digital dan popularitas memiliki dampak besar di dunia modern. Namun, pertanyaan yang harus kita renungkan adalah: Haruskah popularitas di dunia hiburan menjadi kriteria utama untuk meraih penghargaan akademik setinggi Doktor Honoris Causa? Seharusnya, dunia akademik tetap memegang teguh prinsip-prinsip intelektual, menghargai kontribusi nyata bagi masyarakat, dan menjaga integritasnya.

    Fenomena ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga marwah lembaga pendidikan dan penghargaan akademik. Sebuah gelar, terutama Doktor Honoris Causa, seharusnya menjadi simbol penghormatan bagi mereka yang memiliki pencapaian luar biasa dan berdampak luas bagi masyarakat. Jika tidak, penghargaan akademik akan terus mengalami degradasi nilai, menjadi sekadar alat promosi atau pencitraan bagi selebritas maupun lembaga pemberi.

    Pada akhirnya, meskipun Raffi Ahmad memiliki pengaruh besar di dunia hiburan, apa yang dialaminya harus menjadi pengingat bahwa dunia akademik dan penghargaan yang menyertainya tidak boleh dikompromikan hanya demi popularitas. Gelar akademik harus tetap menjadi lambang kontribusi nyata, yang membawa manfaat bagi banyak orang dan memajukan masyarakat secara intelektual.

(NaufalLawyer)