Pengabaian Aparat terhadap Premanisme: Refleksi atas Pembubaran Paksa Diskusi Diaspora
Jakarta, 28 September 2024 - Kericuhan yang terjadi pada sebuah diskusi Forum Tanah Air yang digelar di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, telah menjadi sorotan publik dan media. Acara yang dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional seperti Din Syamsuddin, Refly Harun, dan Said Didu bertujuan untuk mengadakan dialog tentang isu kebangsaan dan kenegaraan dengan diaspora Indonesia. Namun, apa yang seharusnya menjadi forum pertukaran ide berubah menjadi adegan chaos ketika sekelompok pemuda tidak dikenal memaksa pembubaran acara tersebut secara anarkis.
Pembiaran Polisi dalam Aksi Premanisme: Sorotan Tindakan dan Tanggung Jawab
Dalam insiden ini, kinerja polisi juga menimbulkan kekhawatiran. Berdasarkan kesaksian peserta dan rekaman video yang beredar, tampak bahwa ketika kekacauan pecah, respons polisi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Meski beberapa anggota kepolisian berada tidak jauh dari lokasi kejadian, tindakan konkret untuk mencegah atau menghentikan aksi anarkis para preman tersebut tampaknya terlambat. Ketidakhadiran respon yang cepat dan tegas dari polisi pada saat-saat kritis ini menunjukkan adanya pembiaran yang bisa jadi disebabkan oleh keterbatasan kapasitas atau mungkin prioritas tugas yang salah pada waktu itu. Kegagalan ini bukan hanya memperlihatkan celah dalam pengamanan acara tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang keseriusan dan kecepatan tindak lanjut kepolisian dalam melindungi hak asasi warga.
Aksi Pembubaran dan Pelanggaran HAM
Kegiatan yang seharusnya aman tersebut diwarnai dengan tindakan brutal seperti merusak panggung, menyobek backdrop, mematahkan tiang mikrofon, serta mengintimidasi dan mengusir peserta. Kejadian ini bukan hanya sekedar masalah keamanan publik, tetapi juga serangan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak kebebasan untuk berekspresi dan berkumpul yang dijamin oleh konstitusi Indonesia.
Komnas HAM, di bawah kepemimpinan Atnike Nova Sigiro, telah mengecam keras tindakan tersebut dan mendesak kepolisian untuk tidak hanya menangkap pelaku, tetapi juga mengusut tuntas motif di balik tindakan mereka. Faktanya, kepolisian telah berhasil mengidentifikasi sepuluh pelaku dari rekaman CCTV dan video ponsel, dan lima di antaranya telah ditangkap. Namun, mereka hanya dijerat dengan pasal pengerusakan dan penganiayaan, sebuah indikasi bahwa penegakan hukum belum menyentuh akar masalah yang lebih dalam.
Refleksi atas Kebebasan Sipil dan Penegakan Hukum
Insiden ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keefektifan dan keadilan penegakan hukum di Indonesia. Ketika hanya hukuman ringan yang diberikan untuk pelanggaran serius, pesan yang dikirimkan adalah bahwa tindakan semacam itu mungkin hanya mendapatkan hukuman minim. Hal ini tidak hanya mengancam keamanan forum publik, tetapi juga melemahkan dasar-dasar demokrasi dan hak asasi manusia.
Selain itu, Atnike Nova Sigiro juga menyinggung tentang perlunya penuntasan kasus-kasus serupa di masa lalu yang sering diabaikan. Ini menunjukkan pola berkelanjutan dari kurangnya responsivitas dan transparansi dari pihak berwenang terhadap pelanggaran hak-hak dasar warga negara.
Panggilan untuk Aksi dan Reformasi
Masyarakat sipil dan lembaga hukum harus bekerja sama untuk memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang. Kepolisian harus lebih proaktif dalam mengamankan acara yang melibatkan dialog publik dan memperkuat pengawasan terhadap tindakan premanisme. Lebih jauh, ada kebutuhan mendesak untuk reformasi dalam sistem peradilan untuk memastikan bahwa semua bentuk pelanggaran HAM ditangani dengan serius dan pelakunya mendapatkan hukuman yang setimpal.
Insiden di Hotel Grand Kemang adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menavigasi antara kebebasan berekspresi dan keamanan publik. Ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk memperkuat komitmennya terhadap hak asasi manusia dan memastikan bahwa setiap warganya dapat berbicara dan berkumpul tanpa takut akan kekerasan atau intimidasi.
Perspektif Ketertiban dan Keadilan oleh Muhammad Naufal Taftazani, S.H.
Dalam mengkaji insiden pembubaran paksa diskusi di Hotel Grand Kemang dari sudut pandang keadilan dan tata tertib sosial, Muhammad Naufal Taftazani, S.H. selaku Pimpinan Kantor Naufal Law Office di Kalipuro, Banyuwangi, memberikan analisis sebagai berikut : "Kasus seperti di Grand Kemang ini menunjukkan bahwa masih ada jarak yang perlu diperkecil antara teori hukum dan praktik hukum di lapangan," ungkap Naufal. "Prinsip-prinsip hukum dasar yang menggarisbawahi hak kebebasan berekspresi dan berkumpul harusnya menjadi acuan utama dalam penanganan kasus-kasus serupa, tetapi sering kali, tindakan penegakan hukum tidak sepenuhnya menggambarkan prinsip tersebut."
Naufal mengutip teori Hukum Pidana dari ahli hukum terkemuka, Jeremy Bentham, yang menekankan pada prinsip utilitarianisme dalam penegakan hukum—yaitu penegakan hukum harus bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak. "Dalam konteks ini, penegakan hukum harus tidak hanya mengejar keadilan atas tindakan yang sudah terjadi tetapi juga mencegah pelanggaran terhadap hak asasi yang dapat mengganggu kesejahteraan sosial."
Selanjutnya, Naufal menyoroti pentingnya penegakan hukum yang tidak hanya reaktif tetapi juga preventif. "Perlu ada mekanisme hukum yang tidak hanya bertindak setelah kejadian, tetapi juga yang mampu mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Ini termasuk memperkuat peraturan yang ada dan menjamin semua pihak, termasuk aparat penegak hukum, memahami dan menghormati hak-hak tersebut."
Naufal juga mengaitkan pandangannya dengan teori hak asasi manusia dari John Locke, yang mengemukakan bahwa hak asasi alami—seperti kebebasan berekspresi dan berkumpul—adalah hak yang tidak dapat dicabut dan harus dilindungi oleh negara. "Melindungi hak-hak ini bukan hanya kewajiban moral tetapi juga kewajiban hukum yang harus dijalankan tanpa kecuali."
Dengan mengadopsi pendekatan yang berbasis pada teori hukum yang solid dan aplikasi hukum yang adil, Naufal berharap akan ada peningkatan dalam penghormatan terhadap kebebasan sipil dan keamanan publik di masa depan. Ini tidak hanya akan memperkuat fondasi hukum tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia, memastikan bahwa setiap tindakan penegakan hukum selaras dengan prinsip keadilan dan kesetaraan di depan hukum.
(NAUFAL Law Office Media)